George Junus Aditjondro
Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta telah mengirimkan surat pencekalan George Junus Aditjondro ke Direktorat Jenderal Imigrasi. Pencekalan terhadap penulis buku tersebut berkaitan dengan ditetapkannya George sebagai tersangka kasus pelecehan lembaga adat Keraton Yogyakarta sejak awal Januari lalu. Penyidik masih mencari informasi untuk melengkapi berkas. Ada tujuh saksi yang dimintai keterangan.
Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta, Ajun Komisaris Besar Anny Pudjiastuti, Jumat (13/1/2012), mengatakan, pencekalan itu bertujuan memperlancar penyidikan terhadap tersangka. Sebab, selain mengajar di sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta, George selama ini juga mengajar di Australia. Sebagai tersangka, George diwajibkan lapor seminggu sekali ke penyidik.
”Penyidik masih mencari informasi untuk melengkapi berkas. Ada tujuh saksi yang dimintai keterangan,” kata Anny, Jumat kemarin di Yogyakarta. Sebelumnya, Forum Masyarakat Yogya (FMY) mengadukan George ke Polda Yogyakarta, awal Desember 2011, di Markas Polda Yogyakarta atas tuduhan melecehkan lembaga Keraton Yogyakarta. FMY juga menuntut George meminta maaf secara terbuka kepada warga Yogyakarta.
Pengaduan FMY berawal dari pernyataan George dalam diskusi tentang keistimewaan DIY, 30 November 2011, di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Dalam forum tersebut, George mengatakan ”Keraton Yogya itu hanyalah kera yang ditonton”. Koordinator FMY Widihasto Wasana Putro menilai, pernyataan George sangat melukai perasaan masyarakat Yogyakarta. ”Kata-kata itu tidak selayaknya disampaikan dalam forum ilmiah,” katanya.
Laporan FMY diterima Kepala Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta Brigadir Jenderal (Pol) Tjuk Basuki. Atas laporan tersebut, George dijerat dengan Pasal 156 KUHP tentang penghinaan terhadap sekelompok orang atau sekelompok masyarakat dengan ancaman hukuman maksimal empat tahun.
Awal Desember lalu, George sempat datang ke Kantor Gubernur DIY di Kepatihan untuk meminta maaf kepada Sultan Hamengku Buwono X. Namun, niatnya belum terlaksana karena padatnya acara Sultan. Saya mau bertemu Sultan untuk menyampaikan maaf secara langsung. Saya masih menunggu jawaban Sultan,” kata George.
Menurut George, niat untuk meminta maaf kepada Sultan merupakan inisiatif pribadi. Ia sendiri mengaku salah dengan ungkapan plesetan (guyonan) yang disampaikannya dalam diskusi itu. Namanya plesetan, kan, spontan. Anda kalau kenal riwayat saya, memang suka guyon. Ini pengaruh Yogya juga. Bukan sesuatu yang direncanakan,” paparnya.
George Junus Aditjondro mengakui bahwa ungkapannya itu tidak pada tempatnya. Ia juga menegaskan tidak ada unsur kesengajaan di balik pernyataannya itu. Meski sudah meminta maaf melalui media, ia tetap merasa harus bertemu langsung dengan Sultan.
Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta, Ajun Komisaris Besar Anny Pudjiastuti, Jumat (13/1/2012), mengatakan, pencekalan itu bertujuan memperlancar penyidikan terhadap tersangka. Sebab, selain mengajar di sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta, George selama ini juga mengajar di Australia. Sebagai tersangka, George diwajibkan lapor seminggu sekali ke penyidik.
”Penyidik masih mencari informasi untuk melengkapi berkas. Ada tujuh saksi yang dimintai keterangan,” kata Anny, Jumat kemarin di Yogyakarta. Sebelumnya, Forum Masyarakat Yogya (FMY) mengadukan George ke Polda Yogyakarta, awal Desember 2011, di Markas Polda Yogyakarta atas tuduhan melecehkan lembaga Keraton Yogyakarta. FMY juga menuntut George meminta maaf secara terbuka kepada warga Yogyakarta.
Pengaduan FMY berawal dari pernyataan George dalam diskusi tentang keistimewaan DIY, 30 November 2011, di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Dalam forum tersebut, George mengatakan ”Keraton Yogya itu hanyalah kera yang ditonton”. Koordinator FMY Widihasto Wasana Putro menilai, pernyataan George sangat melukai perasaan masyarakat Yogyakarta. ”Kata-kata itu tidak selayaknya disampaikan dalam forum ilmiah,” katanya.
Laporan FMY diterima Kepala Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta Brigadir Jenderal (Pol) Tjuk Basuki. Atas laporan tersebut, George dijerat dengan Pasal 156 KUHP tentang penghinaan terhadap sekelompok orang atau sekelompok masyarakat dengan ancaman hukuman maksimal empat tahun.
Awal Desember lalu, George sempat datang ke Kantor Gubernur DIY di Kepatihan untuk meminta maaf kepada Sultan Hamengku Buwono X. Namun, niatnya belum terlaksana karena padatnya acara Sultan. Saya mau bertemu Sultan untuk menyampaikan maaf secara langsung. Saya masih menunggu jawaban Sultan,” kata George.
Menurut George, niat untuk meminta maaf kepada Sultan merupakan inisiatif pribadi. Ia sendiri mengaku salah dengan ungkapan plesetan (guyonan) yang disampaikannya dalam diskusi itu. Namanya plesetan, kan, spontan. Anda kalau kenal riwayat saya, memang suka guyon. Ini pengaruh Yogya juga. Bukan sesuatu yang direncanakan,” paparnya.
George Junus Aditjondro mengakui bahwa ungkapannya itu tidak pada tempatnya. Ia juga menegaskan tidak ada unsur kesengajaan di balik pernyataannya itu. Meski sudah meminta maaf melalui media, ia tetap merasa harus bertemu langsung dengan Sultan.