Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

gubuk tua yang nyaris roboh

Pada salah satu sisi areal pematang sawah yang jauh dari permukiman warga dan berbatasan dengan hutan di Kelurahan Ammassangang, Kecamatan Binuang, Polewali Mandar, berdiri sebuah gubuk tua yang nyaris roboh. Bangunan rapuh berukuran 4 x 5 meter itu hanya ditopang beberapa kayu dan ditutupi dengan atap rumbia. Tak ada yang menduga jika di dalam rumah itu hidup suami istri dengan enam anak, yang kondisinya amat memprihatinkan.

Sahawiah, ibu yang melahirkan enam anak itu, yang ditemui beberapa waktu lalu, mengaku sengaja memilih hidup terpencil dan jauh dari permukiman penduduk lainnya. Selain karena alasan tak punya lahan untuk tempat tinggal, juga ada perasaan minder untuk bergaul dengan masyarakat sekitar.

Bahkan, dua anak tertua di dalam keluarga ini, Mirnawati (18) dan Irwan (16), tak pernah merasakan bangku sekolah. Keduanya hanya sibuk membantu kedua orangtuanya bekerja menggarap sawah milik orang lain.

Sementara tiga anak lainnya yang berhasil diajak oleh sebuah lembaga pemerhati anak untuk bersekolah kini juga terancam berhenti. Alasannya, mereka tak mampu membeli seragam sekolah. Padahal, ketiga anak itu tergolong sebagai siswa berprestasi di sekolahnya.

Biaya pendidikan memang gratis. Namun, untuk membeli seragam sekolah yang berjumlah empat pasang, yakni putih merah, pramuka, batik, dan baju olahraga, untuk ketiga anaknya, tentu bukan perkara mudah bagi Sahawiah dan suami.

Pendapatannya sebagai petani penggarap jauh dari cukup untuk menopang semua kebutuhan hidup. Pada saat musim panen, semua anggota keluarga, termasuk anak-anaknya, dikerahkan bekerja sebagai buruh tani untuk membantu menopang biaya hidup.

Hasniwati, yang kini tamat SD, terancam tidak bisa melanjutkan pendidikan dasar sembilan tahun. "Kalau tidak bisa lanjut, ya, terpaksa ikut bantu-bantu orangtua di sawah saja," ujar Hasniwati.

Impian Hasniwati menjadi guru untuk mencerdaskan anak-anak desa terancam kandas. Padahal, ia terggolong berprestasi. Bayangkan, meski belajar pada malam hari hanya dengan penerangan pelita, Hasniwati dan Sarniwati, adiknya, mampu berada di peringkat ke-10 besar.

Sahawiah sesungguhnya menaruh harapan besar kepada anak-anaknya yang kini masih bersekolah. Namun, ia hanya bisa pasrah dengan kondisi yang ada sekarang. "Saya, sih, maunya semua anak saya tidak ada yang buta huruf seperti saya dan bapaknya. Tapi karena kami tak mampu, ya, kami terima apa adanya saja," ujarnya.

Julianti, pemerhati pendidikan dan anak telantar di Polewali Mandar, yang terlibat mendorong tiga dari enam anak Sahawiah untuk bersekolah, menjelaskan, biaya empat seragam berkisar Rp 500.000 per orang.

"Kami sedang mendorong pemerintah agar kewajiban seragam sekolah tak berlaku kepada semua sekolah, untuk meringankan orangtua siswa yang tidak mampu," ujar Julianti. Demikian catatan online ilmu rayap yang berjudul gubuk tua yang nyaris roboh.